Pulang kepada Langit

Bagi sebagian manusia, langit adalah rumah.

Runindaru
2 min readApr 3, 2021

Langit Surabaya, Sabtu, 3 April 2021.

He’s not the one who makes me fall for sky. I’ve been fell for sky for so long. Way before i know him.

Tapi, baru kali ini aku mengenal orang yang amat mencintai langit. Bahkan menjadikan langit sebagai “rumah”.

Di mataku langit selalu terlihat seperti lengan-lengan terbuka lebar yang siap menerima kepulangan. Dari jiwa-jiwa yang pasrah atau juga raga yang lelah.

Langit menerima semua hal, tanpa memilah-milah. Awan putih, mendung, pelangi, petir, bulan, bintang, matahari, gerhana, dan tangis tawa manusia.

Sky always gives us the reasons to live.

Karena langit menunjukkan pada manusia bahwa semua hal yang kita alami akan berlalu terbawa arus waktu. Tidak ada awan cirrus yang berdiam di satu titik selama satu tahun, begitupun awan yang lain. Dan hujan. Dan bulan. Dan bintang. Dan fajar. Dan senja. Dan malam. Dan pelangi.

Hidup adalah siklus, yang datang –pergi–berganti — dan berlalu. Tidak ada satu pun fenomena langit yang bertahan dalam waktu lama, sehari saja bahkan tidak mungkin. Pernahkah matahari tidak beranjak selama satu jam? Adakah gurat nyala petir dan suara halilintar selalu sama? Pernahkah pelangi bertahan untuk tiga jam? Adakah awan yang tidak berarak dalam satu menit saja?

Bahkan langit menawarkan warna yang berbeda setiap hari. Fajar dan senja selalu menawarkan warna jingga yang berbeda.

Semesta bergerak. Beranjak. Beralih. Hal-hal yang sayangnya seringkali luput dari pengamatan manusia, atau tepatnya justru tidak pernah diperhatikan. Kita sering lupa bahwa setiap momen yang terjadi tidak akan bertahan selama yang kita mau.

Momen baik ataupun buruk, tidak satu pun bisa membatu di tempat, akan berganti dengan momen berikutnya dan berlalu. Seperti emosi, bahagia ataupun sedih, tidak ada yang awet. Sekalipun menghabiskan puluhan liter formalin.

Berbahagialah secukupnya saat momen baik itu terjadi, bersedihlah secukupnya saat momen buruk pun terjadi. Nikmati secukupnya pada tiap momennya.

Seperti judul lagu Maroon 5:

Nothing Lasts Forever

Setiap kali kau merasa hidupmu tidak beranjak, seolah membeku, dan kau merasa buruk karena keadaan itu—lihatlah ke atas, lihatlah ke langit, lihatlah Semesta, dan ingatlah kau bagian dari Semesta. Kau pun sedang beranjak, meski kau merasa tidak. Itu hanya kecemasanmu. Ingatlah, bahwa kecepatan angin yang mengarak awan pun tidak pernah sama. Kau pun juga, meski selangkah dalam satu hari, itu tetaplah langkah.

Kau selalu bisa pulang kepada langit, yang akan selalu menerimamu dan meyakinkanmu bahwa kau layak bertahan.

(Surabaya, 3 April 2021 — 21.00)

--

--